Jodohku?
oleh: Rya Rizki
Sepagi ini aku
sudah sibuk membuat gaduh seisi rumah. Padahal ini hari minggu, hari tenang.
Seharusnya.
"Bunda,
aku berangkat dulu ya!" seruku seraya mencium punggung tangan bunda
"hati-hati
di jalan, sayang!"
"Iya
bunda. assalamu'alaikum..!" kataku sambil berlalu
"wa'alaikumsalam.."
suara bunda terdengar semakin mengecil
ini adalah
hari pertama aku mengenakan jilbab lebar keluar rumah. Rasanya, semangatku kali
ini dalam mencari ilmu Islam sangat besar. menggebu.
Selama ini aku
bukanlah perempuan yang terlalu jauh dari Islam. aku dibesarkan dalam
lingkungan keluarga yang religius. Hanya saja, jiwa mudaku sering berontak.
Nafsu, teman dan lingkungan sekitarku dipenuhi dengan orang-orang yang up to date akan keduniaan. Tapi tentunya
kita tidak pernah melupakan sholat. Dan selama ini aku menikmati itu.
hingga
akhirnya pada suatu waktu, aku seperti merasakan kekosongan dan kehampaan di
hati. Aku berusaha mencari jawaban atas segala macam pertanyaan yang muncul
dalam benakku. Dimulai dari menjelajah internet dan mulai mencari tips-tips di google yang berhubungan dengan Islam. serta
memfollow akun-akun yang bernuansa
Islam. Memperkaya ilmu.
Dari sana,,
setiap selesai membaca artikel tentang Islam, batinku seperti teriris dan
rasanya ingin menangis, tapi kemudian juga tersenyum, bangga. Merinding. jiwaku
seperti terpanggil. Oh, indahnya Islam.
Sekarang aku
mulai merubah cara berpakaianku. Ku tinggalkan semua celana-celana jeans ku
yang bertumpuk, dan mulai mengenakan rok. Manis.
Dan tepat di hari
Minggu ini, aku berencana mendengarkan kajian Islam bersama Ummu Fatimah di
daerah Ujungberung. Aku merasa, imanku memang harus selalu di-charge.
***
"Gimana, anti sudah siap? Sudah sarapan kan dari
rumah? Ini diminum dulu air teh hangatnya." ujar ummu Fatimah kepadaku
"Insya
Allah, ana siap Ummu! Tenang Um,
perut ana sudah diisi dengan baik juga kok. " jawabku sambil sesekali
menyeruput teh manis hangat.
Udara di luar
sangat dingin, membuat beku kedua pergelangan tanganku. Sebab, aku harus
mengendarai sepeda motor untuk sampai di rumah Ummu Fatimah sepagi mungkin.
Karena Kajian di Ujungberung dimulai pukul 8. Sedangkan jarak dari rumah kami
menuju Ujungberung cukuplah jauh. Maka, akupun memutuskan untuk menumpang mobil
keluarga Ummu Fatimah.
Ummu Fatimah
adalah sahabat baruku. Fathan sahabatku lah yang mengenalkanku dengan Ummu
Fatimah. Beliau memiliki tiga orang anak, Zahra 8tahun, Musa 6tahun, dan
Fatimah 3tahun. Zahra sedang mengikuti program kelas tahfidz dan Alhamdulillah
sudah hapal 14juz Al-Quran. Nah, karena salah satu anaknya yang lain bernama
Fatimah, akupun memanggilnya dengan sebutan Ummu Fatimah.
**
"Fathan,
aku merasa sedang semangat dalam Islam. Aku ingin merubah penampilanku, tapi
aku juga butuh penguat, Fath. Sedangkan, teman-teman kuliahku, yah kamu tau
sendiri kan." ucapku pada Fathan
"aduh
Nadya,, kamu ingat gak, apa kata ustadz Salim A Fillah di twitter? Beliau
bilang, 'Kadang terasa betapa gelap
segala di sekitar diri; sesekali lalu kita harus curiga; mungkin kitalah yang
dikirim Allah sebagai cahaya.' Jadi kalau menurutku, kamulah yang harus
mengajak mereka semakin taat pada Allah dan mencintai sunnah Rasululloh."
ujar Fathan serius
"tapi
kan, Fathaaan...." aku ragu pada diriku sendiri
"pasti
bisa deh. Yakin." Fathan memasukkan bakso ke mulutnya. Penuh.
"mmm......"
aku tertunduk
"ya udah,
gini deh.. Nanti, aku kenalkan kamu sama Ummu Fatimah ya. Beliau itu salah satu
pendengar setia radioku. Beliau muallaf, tapi waaah deh agamanya. Insya
Allah." Fathan menyemangatiku
"serius?"
harapan di hatiku makin tinggi. Aku merasa tak akan sendirian lagi.
"iya.
Insya Allah. Tapi syaratnya, kamu harus bayar makanan ini semua oke.
Hahaha.." Fathan mendelik licik
"ih
dasaaaar!! oke deh, siap!" pukulanku pun mendarat ke bahu Fathan. Aku
menyebutnya pukulan terimakasih :D
***
"kok
ngelamun sih Nadya?" suara wanita di sebelahku benar-benar mengagetkanku
"hah..?
Hehehe nggak kok umm." aku mengelak. Malu.
"Gerah
nggak?" tanya Ummu Fatimah.
Aku
menggelengkan kepala.
Sepertinya
beliau mulai mencemaskanku, takut-takut aku tak terbiasa dengan jilbab besar
dan lebar ini.
"daripada
melamun gitu, lebih baik dzikir aja kalo di perjalanan." saran Ummu
Fatimah sambil menyodorkan tasbih.
"iya,
Umm. Jazakillah khoiir.."
Aku pun mulai
berdzikir.
Ummu Fatimah
pun berdzikir sambil menggendong Musa.
Aisyah (adik
Ummu Fatimah) hanya mengamati kami.
Suami Ummu
Fatimah, Pak Yusuf hanya diam tak mengeluarkan suara. Ia fokus menyetir.
Sejak aku
mengenal Ummu Fatimah, tak pernah ada interaksi antara aku dan suaminya, Pak Yusuf.
Yusuf Firdaus.
Kecuali jika
terdesak. Beliau memang benar-benar menjaga kehati-hatian dalam berinteraksi
dengan wanita.
Pernah suatu
ketika kami dihadapkan pada situasi dimana kami semua harus berdiskusi, sedang
Pak Yusuf harus berbicara. Namun jarang sekali memandang wajah lawan jenis yang
berada di hadapannya.
Godhul Bashor.
Keluarga Pak
Yusuf dan Ummu Fatimah memang tergolong keluarga yang mencintai sunnah
Rasullulloh. Terlihat dari cara berpakaian keduanya.
Pak Yusuf yang
menggunakan celana cingkrang dan
selalu tak pernah tertinggal sholat 5 waktu di masjid, sedangkan Ummu Fatimah
istiqomah memakai gamis dan jilbab yang super besar.
Usia Ummu
Fatimah 28 tahun. Dan Pak Yusuf lebih tua 2 tahun dari dirinya. Mereka memang
memutuskan menikah muda, 9 tahun yang lalu.
***
Aku
menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Lelah. Tapi Puas. Di tempat kajian tadi,
aku mendapatkan teman-teman baru.
Kali pertama
jumpa dengan mereka, tapi rasanya persaudaraan kami seperti telah terjalin
sangat lama. Ya, saudara se-iman, saudara se-Islam. Dekat dengan mereka membuat
hatiku tenang. Membuatku makin ingat Allah.
"Hamba
Allah yang paling baik ialah yang apabila kamu melihatnya, kamu dapat mengingat
Allah."
***
4 bulan
kemudian.
"sayaang,
ada Fathan tuh di bawah." Ujar Bunda sambil melongokkan kepalanya dari
belakang pintu kamarku
"iya,
Bund. Aku pake jilbab dulu ya."
sudah sekitar
4 bulan setelah mengikuti kajian di Ujungberung, aku tidak berjumpa dengan
Fathan.
Muhammad
Fathan Abdillah adalah sahabat kecilku. Aku memanggilnya Fathan. Dia tumbuh
menjadi pria sholeh dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dialah penenang
diriku saat masa-masa aku membutuhkan penguat dalam mencari ilmu Islam, dulu.
Fathan bekerja
sebagai penyiar di salah satu radio islam di Bandung. Dan ia pun telah memiliki
banyak pendengar setia.
"Assalamu'alaikum,
Fathan." sapaku dari dalam
"Wa'alaikumsalam
warohmatulloh." Fathan tersenyum ke arahku
"Sombong
ni yah 4 bulan gak pernah nyapa lagi. Gimana kabarnya?" Fathan mulai
membuka percakapan. menghilangkan kekakuan yang ada.
"Afwan
ya, Fathan. Tapi, aku masih sering dengerin kamu siaran kok. Hehe.
Alhamdulillah baik. Jazakalloh khoiir udah kenalin aku sama Ummu Fatimah. Aku
banyak belajar dari beliau." kataku
"waiyyaki..
Nadya Nurul Aini. Beliau tuh muallaf tapi luar biasa kecintaan terhadap
Islamnya. Melebihi kecintaan kebanyakan orang-orang yang ke-Islam-annya sudah
ada sejak lahir."Seru Fathan semangat
"hehe
iyaa betul. Beliau memeluk Islam dengan pengorbanan yang sangat besar. Sampai
diusir oleh keluarganya. Ah Subhanalloh deh kalo denger ceritanya ya."
"iyaa.."
jawab Fathan
Aku dan Fathan
bercerita banyak. Tentang Ummu Fatimah, tentang keluargaku, tentang
keluarganya, tentang kuliah, tentang pekerjaan, pandangan tentang Islam, juga
tentang hal pribadiku.
Selalu seperti
itu. Berceloteh dengan Fathan memang seperti tidak ada habisnya.
Dari
perbincanganku hari itu, Fathan akhirnya mengetahui bahwa aku sedang menjalani
proses ta'aruf dengan seorang pria yang dikenalkan oleh keluarga Ummu Fatimah
dan Pak Yusuf. Iqbal, namanya. Dan Fathan pun mengenalinya dengan jelas.
***
"kamu
serius mau berhenti kuliah? Kenapa?"ujar teman sekampusku, Binar, setengah
tak percaya
"iya.
Insya Allah sudah aku pikirkan matang-matang. Aku mau stop kuliah dulu. Aku ingin
fokus di kelas tahfidz dan program kelas bahasa Arabku, Binar. Doakan aku
yaa." seru ku kalem
sebenarnya
keputusan ini bukan keputusan yang mudah. Aku harus sekuat tenaga membujuk dan
melobi Ayah dan Bunda agar mengizinkanku berhenti kuliah.
Tapi berkat
pribadi ayah yang sangat tenang, akhirnya aku dengan mudah mendapat restu dari
ayah. Beliau memang selalu punya cara tersendiri dalam memandang setiap
permasalahan dengan sisi positif. Itu yang selalu aku kagumi.
Sedangkan,
Bunda mudah panik. Bunda sangat menginginkan anak semata wayangnya ini menjadi
sarjana dan sukses menjadi wanita karir.
"ya Bunda
yaaah.. Aku tenang kalo berlama-lama memegang dan membaca Al-Quran. boleh ya
bunda yaah..." bujukku dengan lembut.
Bunda hanya
terdiam.
"Kalau
aku jadi Hafidzhah, Insya Allah aku bisa menyelamatkan keluarga nanti di
akhirat loh bunda. Bunda mau nggak di akhirat kelak dipakaikan mahkota yang
indah? Aku tau, bunda sangat menginginkan aku jadi wanita karir agar bisa
menyejahterakan keluarga kita nantinya. Tapi, bukankah lebih baik diselamatkan
nanti di akhirat bund?" aku tak henti hentinya merayu Bunda.
Bunda masih
terdiam.
"Bunda..."
aku tertunduk lemas.
"...."
"...."
"Baiklah,
kalau kamu memang berniat serius di situ. Lakukan saja. Bunda dukung."
ujar Bunda sembari memegang pipi dan mengangkat kepalaku yang tertunduk.
aku terkejut.
Butuh waktu
lebih dari 2 minggu membujuk Bunda hingga beliau mengizinkan.
begitulah
sosok seorang ibu.
Lembut dan
selalu tak tega pada anaknya.
Ku peluk erat
bunda.
Menangis.
Bahagia.
Terimakasih Bunda. -batinku
***
Kini
hari-hariku diisi dengan mengikuti kajian Islam, les bahasa Arab dan kelas
tahfidzh. teman-teman serta lingkunganku pun sudah berhasil menguatkan imanku.
Aku semakin percaya diri dengan jilbab besar ini.
Ummu Fathimah
tidak pernah alpa dalam menemani dan membimbingku.
"bagaimana,
CV nya sudah dilihat? Tentukan pilihan dengan tenang. Jangan tergesa-gesa,
karena tergesa-gesa itu datangnya dari syaithan." saran ayah dan bunda
padaku
"sudah.
hanya saja, Nadya masih terkejut. Mau istikhoroh lagi. Bunda sama Ayah bantu
do'a ya. Semoga Nadya nggak salah pilih." ujarku
Ya. Muhammad
Fathan Abdillah. Ternyata anak itu menyimpan rasa padaku.
Melalui
gurunya, KH. Zaenal ia menyodorkan CV nya dan mengutarakan niatnya untuk mempersunting
diriku.
Bukan
bermaksud menyerobot Iqbal. Bukan.
Hanya saja
moment nya memang bersamaan. Hanya selang beberapa hari dari Iqbal. Padahal
Fathan sudah berniat sejak lama. Ia benar-benar tidak ingin menyesal di masa
yang akan datang jika ia tak mengutarakan niatnya padaku.
Sedangkan
ikhwan satu lagi, Iqbal Satria Fauzan. Aku tak mengenalnya sama sekali.
Aku hanya
mengetahui dia dari Ummu Fatimah. Iqbal pekerja keras. Dia seorang manager di
sebuah perusahaan besar. Anaknya jujur, bertanggung jawab dan sangat mencintai
Sunnah.
aku sangat
mempercayai pilihan Ummu Fatimah.
Adzan Isya
berkumandang. Membuyarkan semua pikiran-pikiran yang ada di kepalaku. Kini
saatnya aku mencurahkan segala kegundahanku kepada Sang Pencipta.
Ya Allah,
beri hamba petunjukMu,
dan mudahkan hamba dalam memahami setiap
petunjuk dariMu,
Jadikan apa yang terjadi dalam hidup hamba
bukan berdasarkan keinginan hamba semata, tapi juga berdasarkan keridhoan
Engkau.
Aamiin..
kulipat mukena
putihku. Dan ku simpan rapi.
Lalu, perlahan
ku setel radio di kamarku.
Sudah lama aku
tak mendengarkan Fathan siaran. Memang sejak Fathan mengirimkan CV nya padaku,
ia sengaja tak menghubungiku lagi.
"Ya,
pendengar sekalian. Demikian kebersamaan kita. Mudah-mudahan banyak manfaat yg
bisa kita ambil. Saya Muhammad Fathan Abdillah, pamit undur diri. Subhanalloh
wabihamdihi subhanakallohumma wabihamdika asyhadualla ilaahailla anta
astaghfiruka wa atubuilaik. Wassalamu'alaikum warohmatullohi
wabarokatuuh.."
kemudian
berputarlah lagu berikut..
Bersaksi cinta diatas cinta
Dalam alunan tasbih ku ini
Menerka hati yang tersembunyi
Berteman di malam sunyi penuh do'a.
Sebut namaMu terukir merdu
Tertulis dalam sajadah cinta
Tetapkan pilihan sebagai teman
Kekal abadi hingga akhir zaman
Istikharah cinta memanggilku
Memohon petunjukMu
satu nama teman setia
Naluriku berkata
Di
penantian luahan rasa
Teguh satu pilihan
Pemenuh separuh nafasku
Dalam mahabbah rindu
di istikharah cinta..
-Istikhoroh
Cinta by Sigma-
"ah..
Fathan.. Lagunya pas banget" Aku tersenyum berbisik dalam hati
***
"Hiduplah semaumu; namun sungguh engkau
akan mati. Cintailah seseorang sesukamu, tapi sungguh engkau akan berpisah
darinya." (nasehat Jibril kepada Nabi Muhammad)
Ku panjatkan
do'a di Tempat Pemakaman Umum Baleendah ini. Cepat-cepat ku seka air mataku
yang hampir jatuh. Aku hanya tak ingin terlalu larut dalam duka yang ada.
"Besok
hari bahagia untukku. Semoga Allah memberikan tempat yang indah untukmu. Semoga
kubur mu dilapangkan. Aku akan selalu mendo'akanmu." ujarku dalam hati.
ku pandangi
dalam-dalam batu nisan di depanku.
Muhammad
Fathan Abdillah.
Lahir: 18
April 1987
wafat: 22
Agustus 2012
***
Tahun lalu.
Juli 2012.
"kok kamu
lebih memilih Fathan sih, Nadya? Iqbal kurang soleh apa coba? Apalagi kalo kamu
jadi istrinya, kamu sekeluarga bisa langsung berangkat naik haji." ujar
Aisyah setengah mengintimidasi.
Aisyah adalah
adik Ummu Fatimah. Usianya 2 tahun lebih muda dariku. Kadang emosinya masih
belum stabil.
Ummu Fatimah
hanya tersenyum heran mendengar pertanyaan aneh dari adiknya.
"Semoga
aku tidak akan menyesal ya. Tapi sungguh, begini Aisyah.. Aku memiliki sebuah
cita-cita. Aku ingin membangun sebuah keluarga diatas landasan keimanan yang
kokoh. Aku ingin memiliki anak-anak yang akan menjadi pembela agama-Nya. Aku
ingin memiliki anak-anak yang akan menjadi hafizh-hafizh AlQur'an. Aku ingin
anak-anakku kelak sangat bersemangat untuk datang ke Majelis ilmu. Berlebihan
kah? Ya. Tapi itulah cita-citaku. Semua berhak memiliki cita-cita. Dan, aku tak
melihat itu ada pada sosok Iqbal." jawabku
Ummu Fatimah
terharu.
Kemudian
beliau memelukku.
"aamiin.
Semoga, Fathan lah orangnya. Kamu sudah sangat dewasa, Nadya." bisiknya
padaku
kemudian
terdengar nada sms dari handphoneku. Ku buka perlahan.
Jazakillahu khoiir. Terimakasih, Nadya. -Fathan
bersyukurlah pada Allah. Karena Ia lah yang
menunjukkan dan membukakan hatiku untukmu. Sent
aku tersenyum.
bahagia.
2 bulan ke
depan, di usiaku yang ke 21 Insya Allah aku menikah bersama Fathan.
September ceria.
Terimakasih Ya Allah. -batinku
***
Hari itu. 22
Agustus 2012.
"Halo
Nadya..! Fathan kecelakaan...!!" suara dari sebrang sana panik. Ibunda
Fathan sampai-sampai lupa mengucapkan salam.
"Innalillahi..
Kecelakaan dimana, Bu? Gimana keadaannya?" aku pun menjadi ikut panik
"kamu
cepat ke Rumah Sakit Al-Islam ya. Hati-hati."
tuut tuut
tuut.. Terputus.
Bergegas aku
memberi tau Bunda yang sedang berjaga. Bunda memang sedang menunggu Ayahku yang
sedang dirawat di Rumah Sakit. Rencananya, hari ini Fathan memang akan menengok
Ayah.
Namun, Allah
berkehendak lain. Ternyata Fathan mengalami kecelakaan di perjalanan.
Aku dan Binar
berjalan sangat cepat menyusuri lorong rumah sakit.
Bunda memang
menyuruhku menelepon Binar agar ia menemaniku melihat keadaan Fathan.
Nafasku terengah-engah.
Ya Allah, selamatkan nyawa Fathan.
Terlambat.
Aku sampai di
ruang tunggu ICU, ketika nyawa Fathan sudah tak tertolong.
Malaikat
Ijrail telah mencabut nyawanya.
Ia
menghembuskan nafas di usianya yang ke 25 tahun.
"Innalillahi
wa inna ilaihi roji'uun.." ucapku lirih
Lemas.
Kakiku seperti
tak menapaki bumi.
Handphone yang
sedari tadi ku genggam pun, terlepas.
Seperti tak
ada kekuatan untuk menggenggam.
Semua suara
orang-orang di sekitarku seperti mengecil dan menjauh.
Pandangan
mataku kosong.
Binar
cepat-cepat menahan tubuhku yang mulai ambruk. Kemudian memopohku untuk duduk
di kursi.
"Fathaan....."
aku menangis lirih
"istighfar,
Nadya. Sabar. Dzikir sayang dzikiir." Binar menenangkan.
Aku tenggelam
di pelukan Binar.
Aku berdzikir
sebanyak mungkin, berusaha menenangkan diriku sendiri.
"Hanya dengan mengingat-Ku, hati akan
menjadi tenang." (Q.S Ar-Ro'd
28)
sementara Ibu
Fathan terus menjerit dan berteriak. Shock.
"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.
Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia
telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan." (Q.S Ali Imron: 185)
***
1 bulan setelah
wafatnya Fathan...
Bulan
September 2012 ini seharusnya menjadi bulan bahagia untukku. Untuk Aku dan
Fathan.
Minggu-minggu
awal sejak kepergian Fathan, merupakan minggu-minggu terberat dalam sejarah
hidupku selama ini.
Aku merasa
tidak sehat, tanpa bisa menjelaskan bagian mana yang sakit.
Aku
benar-benar kehilangan sosok Fathan.
Jika saja
bukan karena iman dan Islam yang ada pada diriku, mungkin aku sudah gila.
***
Agustus 2013
Hari
berganti-hari. Tak terasa setahun sudah Fathan pergi meninggalkan kami. Aku
semakin mempersibuk diriku dengan mengikuti kajian-kajian. Kegiatan hapalan dan
bahasa Arabku berjalan dengan lancar.
"Nadya,
kamu kuat ya. Aku salut!"
"kuat
bagaimana maksud kamu, Binar?" aku balik bertanya. Tak mengerti ke arah
mana pembicaraan yang dimaksud Binar.
Ummu Fatimah
dan Aisyah tersenyum mendengarkan pembicaraan aku dan Binar.
Sekarang,
Binar semakin sering mengikuti kajian menemani ku. Ia pun perlahan mulai
mengenakan jilbab lebar. Allah telah menggerakkan hatinya.
"Mukmin
yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang
lemah, kak Binar. Iya kan, mbak? makanya kak Nadya bisa kuat gitu." tutur
Aisyah kepada Ummu Fatimah.
Aku dan Ummu
Fatimah membalas dengan anggukan dan senyuman.
"kamu
sembuh lebih cepat dari yang aku bayangkan, Nadya. Aku gak tau gimana jadinya
kalo aku ada di posisi kamu." ujar Binar
"ini
tentang apa? Tentang alm. Fathan ya?"
"afwan
jika aku kembali mengingatkanmu tentangnya." Binar merasa nggak enak
"Rasa
kehilangan hanya akan ada, jika kita pernah merasa 'memiliki'nya. Padahal, kita
tidak pernah memiliki apapun di dunia ini. Semua hanya titipan. Milik Allah.
Harta kita, Jiwa kita, Raga kita, keluarga kita, semuanya." Aku mulai
menjelaskan apa yang selama ini ada di pikiranku dan bisa membuatku kuat.
Setidaknya terlihat kuat.
"...."
"Kalau
kita masih menangis meraung-raung saat tiba-tiba Allah mengambil tangan kita,
itu artinya kita terlalu 'dalam' memiliki apa yang bukan milik kita. Kalau kita
masih kecewa ketika orang lain tak membalas rasa sayang kita, itu artinya kita
terlalu 'dalam' memiliki apa yang
bukan milik kita. Dan begitupun jika kita marah serta kecewa saat teman kita
pergi, itu juga menandakan kita sombong karena terlalu 'dalam' memiliki apa yang bukan milik kita." lanjutku perlahan.
Aku tak ingin terkesan menggurui mereka.
"..."
"Secinta-cinta
apapun kita terhadap sesuatu , pemiliknya yg sejati hanyalah Allah. Dan Dia
lebih mencintai kita. Lebih mencintai Fathan. Lebih berhak atas diri
kita." tambahku lagi
"itu
betul banget, tapi pengamalannya susah yaa." Aisyah mengomentari
"Nah iya,
sekarang aku lagi belajar ilmu ikhlas. Jangan terlalu larut dalam kesedihan.
Walaupun susah. Tapi, Semangat! Pilihan Allah tak selalu seindah ingin kita,
tapi itu pilihan-Nya. Tak ada yang lebih baik dari pilihan Allah." seru
ku.
Ummu Fatimah
tersenyum mendengar pembicaraan antara aku, Binar dan Aisyah.
Kemudian
beliau menutup pembicaraan dengan kalimat..
"jika
kita kehilangan sesuatu yg kita cintai dan kita ikhlas karena Allah, maka Allah
akan menggantinya dengan yang lebih baik. Insyaa Allah. Ikhlas, Berdo'a dan
Bersabarlah."
Binar
tersenyum puas.
kami pun
memutuskan pulang ke rumah masing-masing.
***
November
2013..
Beberapa hari
yang lalu, Ummu Fatimah kembali menawarkan ikhwan untuk ta'aruf lagi padaku.
Rasanya bukan
tidak berselera atau trauma, hanya saja aku merasa belum siap untuk memulai dan
membuka hati lagi.
Tapi tak
sampai di situ, Ummu Fatimah terus-terusan menyemangatiku. Ia mengatakan kalau
aku harus segera bangkit, sebenar-benarnya bangkit. (wkwkwk)
Ia
menyemangatiku agar aku tak terlalu lama dalam kesendirian dalam mencari ilmu.
Dan akhirnya
aku memutuskan untuk mengiyakan tawaran ta'aruf dari Ummu Fatimah.
"kamu
pernah bilang kalau kamu menginginkan keluarga dengan landasan Islam yang
kokoh, serta anak yang mencintai Al-Quran dan menjadikannya sebagai hafizh kan,
Nadya.." ujar Ummu Fatimah
"iya,
Insyaa Allah."
"Baiklah.
Semoga ikhwan ini sesuai dengan kriteria dirimu ya, Nadya." Ummu Fatimah
menyodorkan map berisi CV seorang ikhwan
Ku buka
perlahan CV yang sedari tadi ku pegang sambil mengucap basmallah.
NAMA : YUSUF
FIRDAUS
TTL : Surabaya, 11 Februari 1982
Status :
Menikah
Pekerjaan :
Wiraswasta
Memiliki 3
orang anak dan 1 istri
aku terkejut.
spontan ku
alihkan pandangan mataku ke arah Ummu Fatimah.
Wajah dan
tatapan mataku seolah bertanya 'kenapa? Kenapa bisa? Apa alasannya? Kenapa Pak
Yusuf?" pada Ummu Fatimah.
Ummu Fatimah
seakan mengerti arti dari wajahku yang dipenuhi dengan pertanyaan dan meminta
kejelasan.
Kemudian ia
berucap, "karena kita tidak boleh terlalu 'dalam' mencintai dan memiliki apa yang bukan milik kita.Termasuk
suami ana sekalipun."
Aku menangis
dalam sujudku.
Ya Allah, Engkau tak memberi apa yang aku
inginkan. Tapi, memberi apa yang aku butuhkan. Penguat.
*tamat*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar