Minggu, 13 Oktober 2013

Coret-coret


Jodohku?
oleh: Rya Rizki

Sepagi ini aku sudah sibuk membuat gaduh seisi rumah. Padahal ini hari minggu, hari tenang. Seharusnya.

"Bunda, aku berangkat dulu ya!" seruku seraya mencium punggung tangan bunda
"hati-hati di jalan, sayang!"
"Iya bunda. assalamu'alaikum..!" kataku sambil berlalu
"wa'alaikumsalam.." suara bunda terdengar semakin mengecil

ini adalah hari pertama aku mengenakan jilbab lebar keluar rumah. Rasanya, semangatku kali ini dalam mencari ilmu Islam sangat besar. menggebu.

Selama ini aku bukanlah perempuan yang terlalu jauh dari Islam. aku dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang religius. Hanya saja, jiwa mudaku sering berontak. Nafsu, teman dan lingkungan sekitarku dipenuhi dengan orang-orang yang up to date akan keduniaan. Tapi tentunya kita tidak pernah melupakan sholat. Dan selama ini aku menikmati itu.

hingga akhirnya pada suatu waktu, aku seperti merasakan kekosongan dan kehampaan di hati. Aku berusaha mencari jawaban atas segala macam pertanyaan yang muncul dalam benakku. Dimulai dari menjelajah internet dan mulai mencari tips-tips di google yang berhubungan dengan Islam. serta memfollow akun-akun yang bernuansa Islam. Memperkaya ilmu.

Dari sana,, setiap selesai membaca artikel tentang Islam, batinku seperti teriris dan rasanya ingin menangis, tapi kemudian juga tersenyum, bangga. Merinding. jiwaku seperti terpanggil. Oh, indahnya Islam.

Sekarang aku mulai merubah cara berpakaianku. Ku tinggalkan semua celana-celana jeans ku yang bertumpuk, dan mulai mengenakan rok. Manis.

Dan tepat di hari Minggu ini, aku berencana mendengarkan kajian Islam bersama Ummu Fatimah di daerah Ujungberung. Aku merasa, imanku memang harus selalu di-charge.

***
"Gimana, anti sudah siap? Sudah sarapan kan dari rumah? Ini diminum dulu air teh hangatnya." ujar ummu Fatimah kepadaku
"Insya Allah, ana siap Ummu! Tenang Um, perut ana sudah diisi dengan baik juga kok. " jawabku sambil sesekali menyeruput teh manis hangat.

Udara di luar sangat dingin, membuat beku kedua pergelangan tanganku. Sebab, aku harus mengendarai sepeda motor untuk sampai di rumah Ummu Fatimah sepagi mungkin. Karena Kajian di Ujungberung dimulai pukul 8. Sedangkan jarak dari rumah kami menuju Ujungberung cukuplah jauh. Maka, akupun memutuskan untuk menumpang mobil keluarga Ummu Fatimah.

Ummu Fatimah adalah sahabat baruku. Fathan sahabatku lah yang mengenalkanku dengan Ummu Fatimah. Beliau memiliki tiga orang anak, Zahra 8tahun, Musa 6tahun, dan Fatimah 3tahun. Zahra sedang mengikuti program kelas tahfidz dan Alhamdulillah sudah hapal 14juz Al-Quran. Nah, karena salah satu anaknya yang lain bernama Fatimah, akupun memanggilnya dengan sebutan Ummu Fatimah.

**
"Fathan, aku merasa sedang semangat dalam Islam. Aku ingin merubah penampilanku, tapi aku juga butuh penguat, Fath. Sedangkan, teman-teman kuliahku, yah kamu tau sendiri kan." ucapku pada Fathan
"aduh Nadya,, kamu ingat gak, apa kata ustadz Salim A Fillah di twitter? Beliau bilang, 'Kadang terasa betapa gelap segala di sekitar diri; sesekali lalu kita harus curiga; mungkin kitalah yang dikirim Allah sebagai cahaya.' Jadi kalau menurutku, kamulah yang harus mengajak mereka semakin taat pada Allah dan mencintai sunnah Rasululloh." ujar Fathan serius
"tapi kan, Fathaaan...." aku ragu pada diriku sendiri
"pasti bisa deh. Yakin." Fathan memasukkan bakso ke mulutnya. Penuh.
"mmm......" aku tertunduk
"ya udah, gini deh.. Nanti, aku kenalkan kamu sama Ummu Fatimah ya. Beliau itu salah satu pendengar setia radioku. Beliau muallaf, tapi waaah deh agamanya. Insya Allah." Fathan menyemangatiku
"serius?" harapan di hatiku makin tinggi. Aku merasa tak akan sendirian lagi.
"iya. Insya Allah. Tapi syaratnya, kamu harus bayar makanan ini semua oke. Hahaha.." Fathan mendelik licik
"ih dasaaaar!! oke deh, siap!" pukulanku pun mendarat ke bahu Fathan. Aku menyebutnya pukulan terimakasih :D

***
"kok ngelamun sih Nadya?" suara wanita di sebelahku benar-benar mengagetkanku
"hah..? Hehehe nggak kok umm." aku mengelak. Malu.
"Gerah nggak?" tanya Ummu Fatimah.
Aku menggelengkan kepala.
Sepertinya beliau mulai mencemaskanku, takut-takut aku tak terbiasa dengan jilbab besar dan lebar ini.
"daripada melamun gitu, lebih baik dzikir aja kalo di perjalanan." saran Ummu Fatimah sambil menyodorkan tasbih.
"iya, Umm. Jazakillah khoiir.."

Aku pun mulai berdzikir.
Ummu Fatimah pun berdzikir sambil menggendong Musa.
Aisyah (adik Ummu Fatimah) hanya mengamati kami.
Suami Ummu Fatimah, Pak Yusuf hanya diam tak mengeluarkan suara. Ia fokus menyetir.

Sejak aku mengenal Ummu Fatimah, tak pernah ada interaksi antara aku dan suaminya, Pak Yusuf. Yusuf Firdaus.
Kecuali jika terdesak. Beliau memang benar-benar menjaga kehati-hatian dalam berinteraksi dengan wanita.
Pernah suatu ketika kami dihadapkan pada situasi dimana kami semua harus berdiskusi, sedang Pak Yusuf harus berbicara. Namun jarang sekali memandang wajah lawan jenis yang berada di hadapannya.
Godhul Bashor.

Keluarga Pak Yusuf dan Ummu Fatimah memang tergolong keluarga yang mencintai sunnah Rasullulloh. Terlihat dari cara berpakaian keduanya.
Pak Yusuf yang menggunakan celana cingkrang dan selalu tak pernah tertinggal sholat 5 waktu di masjid, sedangkan Ummu Fatimah istiqomah memakai gamis dan jilbab yang super besar.

Usia Ummu Fatimah 28 tahun. Dan Pak Yusuf lebih tua 2 tahun dari dirinya. Mereka memang memutuskan menikah muda, 9 tahun yang lalu.

***

Aku menghempaskan tubuhku ke atas kasur. Lelah. Tapi Puas. Di tempat kajian tadi, aku mendapatkan teman-teman baru.
Kali pertama jumpa dengan mereka, tapi rasanya persaudaraan kami seperti telah terjalin sangat lama. Ya, saudara se-iman, saudara se-Islam. Dekat dengan mereka membuat hatiku tenang. Membuatku makin ingat Allah.

"Hamba Allah yang paling baik ialah yang apabila kamu melihatnya, kamu dapat mengingat Allah."

***
4 bulan kemudian.

"sayaang, ada Fathan tuh di bawah." Ujar Bunda sambil melongokkan kepalanya dari belakang pintu kamarku
"iya, Bund. Aku pake jilbab dulu ya."

sudah sekitar 4 bulan setelah mengikuti kajian di Ujungberung, aku tidak berjumpa dengan Fathan.
Muhammad Fathan Abdillah adalah sahabat kecilku. Aku memanggilnya Fathan. Dia tumbuh menjadi pria sholeh dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dialah penenang diriku saat masa-masa aku membutuhkan penguat dalam mencari ilmu Islam, dulu.
Fathan bekerja sebagai penyiar di salah satu radio islam di Bandung. Dan ia pun telah memiliki banyak pendengar setia.

"Assalamu'alaikum, Fathan." sapaku dari dalam
"Wa'alaikumsalam warohmatulloh." Fathan tersenyum ke arahku
"Sombong ni yah 4 bulan gak pernah nyapa lagi. Gimana kabarnya?" Fathan mulai membuka percakapan. menghilangkan kekakuan yang ada.
"Afwan ya, Fathan. Tapi, aku masih sering dengerin kamu siaran kok. Hehe. Alhamdulillah baik. Jazakalloh khoiir udah kenalin aku sama Ummu Fatimah. Aku banyak belajar dari beliau." kataku
"waiyyaki.. Nadya Nurul Aini. Beliau tuh muallaf tapi luar biasa kecintaan terhadap Islamnya. Melebihi kecintaan kebanyakan orang-orang yang ke-Islam-annya sudah ada sejak lahir."Seru Fathan semangat
"hehe iyaa betul. Beliau memeluk Islam dengan pengorbanan yang sangat besar. Sampai diusir oleh keluarganya. Ah Subhanalloh deh kalo denger ceritanya ya."
"iyaa.." jawab Fathan

Aku dan Fathan bercerita banyak. Tentang Ummu Fatimah, tentang keluargaku, tentang keluarganya, tentang kuliah, tentang pekerjaan, pandangan tentang Islam, juga tentang hal pribadiku.

Selalu seperti itu. Berceloteh dengan Fathan memang seperti tidak ada habisnya.

Dari perbincanganku hari itu, Fathan akhirnya mengetahui bahwa aku sedang menjalani proses ta'aruf dengan seorang pria yang dikenalkan oleh keluarga Ummu Fatimah dan Pak Yusuf. Iqbal, namanya. Dan Fathan pun mengenalinya dengan jelas.

***

"kamu serius mau berhenti kuliah? Kenapa?"ujar teman sekampusku, Binar, setengah tak percaya
"iya. Insya Allah sudah aku pikirkan matang-matang. Aku mau stop kuliah dulu. Aku ingin fokus di kelas tahfidz dan program kelas bahasa Arabku, Binar. Doakan aku yaa." seru ku kalem

sebenarnya keputusan ini bukan keputusan yang mudah. Aku harus sekuat tenaga membujuk dan melobi Ayah dan Bunda agar mengizinkanku berhenti kuliah.
Tapi berkat pribadi ayah yang sangat tenang, akhirnya aku dengan mudah mendapat restu dari ayah. Beliau memang selalu punya cara tersendiri dalam memandang setiap permasalahan dengan sisi positif. Itu yang selalu aku kagumi.
Sedangkan, Bunda mudah panik. Bunda sangat menginginkan anak semata wayangnya ini menjadi sarjana dan sukses menjadi wanita karir.

"ya Bunda yaaah.. Aku tenang kalo berlama-lama memegang dan membaca Al-Quran. boleh ya bunda yaah..." bujukku dengan lembut.
Bunda hanya terdiam.
"Kalau aku jadi Hafidzhah, Insya Allah aku bisa menyelamatkan keluarga nanti di akhirat loh bunda. Bunda mau nggak di akhirat kelak dipakaikan mahkota yang indah? Aku tau, bunda sangat menginginkan aku jadi wanita karir agar bisa menyejahterakan keluarga kita nantinya. Tapi, bukankah lebih baik diselamatkan nanti di akhirat bund?" aku tak henti hentinya merayu Bunda.
Bunda masih terdiam.
"Bunda..." aku tertunduk lemas.
"...."
"...."
"Baiklah, kalau kamu memang berniat serius di situ. Lakukan saja. Bunda dukung." ujar Bunda sembari memegang pipi dan mengangkat kepalaku yang tertunduk.

aku terkejut.
Butuh waktu lebih dari 2 minggu membujuk Bunda hingga beliau mengizinkan.
begitulah sosok seorang ibu.
Lembut dan selalu tak tega pada anaknya.
Ku peluk erat bunda.
Menangis.
Bahagia.

Terimakasih Bunda. -batinku


***
Kini hari-hariku diisi dengan mengikuti kajian Islam, les bahasa Arab dan kelas tahfidzh. teman-teman serta lingkunganku pun sudah berhasil menguatkan imanku. Aku semakin percaya diri dengan jilbab besar ini.
Ummu Fathimah tidak pernah alpa dalam menemani dan membimbingku.

"bagaimana, CV nya sudah dilihat? Tentukan pilihan dengan tenang. Jangan tergesa-gesa, karena tergesa-gesa itu datangnya dari syaithan." saran ayah dan bunda padaku
"sudah. hanya saja, Nadya masih terkejut. Mau istikhoroh lagi. Bunda sama Ayah bantu do'a ya. Semoga Nadya nggak salah pilih." ujarku

Ya. Muhammad Fathan Abdillah. Ternyata anak itu menyimpan rasa padaku.
Melalui gurunya, KH. Zaenal ia menyodorkan CV nya dan mengutarakan niatnya untuk mempersunting diriku.
Bukan bermaksud menyerobot Iqbal. Bukan.
Hanya saja moment nya memang bersamaan. Hanya selang beberapa hari dari Iqbal. Padahal Fathan sudah berniat sejak lama. Ia benar-benar tidak ingin menyesal di masa yang akan datang jika ia tak mengutarakan niatnya padaku.

Sedangkan ikhwan satu lagi, Iqbal Satria Fauzan. Aku tak mengenalnya sama sekali.
Aku hanya mengetahui dia dari Ummu Fatimah. Iqbal pekerja keras. Dia seorang manager di sebuah perusahaan besar. Anaknya jujur, bertanggung jawab dan sangat mencintai Sunnah.
aku sangat mempercayai pilihan Ummu Fatimah.

Adzan Isya berkumandang. Membuyarkan semua pikiran-pikiran yang ada di kepalaku. Kini saatnya aku mencurahkan segala kegundahanku kepada Sang Pencipta.

Ya Allah,
beri hamba petunjukMu,
dan mudahkan hamba dalam memahami setiap petunjuk dariMu,
Jadikan apa yang terjadi dalam hidup hamba bukan berdasarkan keinginan hamba semata, tapi juga berdasarkan keridhoan Engkau.
Aamiin..

kulipat mukena putihku. Dan ku simpan rapi.
Lalu, perlahan ku setel radio di kamarku.
Sudah lama aku tak mendengarkan Fathan siaran. Memang sejak Fathan mengirimkan CV nya padaku, ia sengaja tak menghubungiku lagi.

"Ya, pendengar sekalian. Demikian kebersamaan kita. Mudah-mudahan banyak manfaat yg bisa kita ambil. Saya Muhammad Fathan Abdillah, pamit undur diri. Subhanalloh wabihamdihi subhanakallohumma wabihamdika asyhadualla ilaahailla anta astaghfiruka wa atubuilaik. Wassalamu'alaikum warohmatullohi wabarokatuuh.."


kemudian berputarlah lagu berikut..

Bersaksi cinta diatas cinta
Dalam alunan tasbih ku ini
Menerka hati yang tersembunyi
Berteman di malam sunyi penuh do'a.
   Sebut namaMu terukir merdu
   Tertulis dalam sajadah cinta
   Tetapkan pilihan sebagai teman
   Kekal abadi hingga akhir zaman
Istikharah cinta memanggilku
Memohon petunjukMu
satu nama teman setia
Naluriku berkata
   Di penantian luahan rasa
   Teguh satu pilihan
   Pemenuh separuh nafasku
   Dalam mahabbah rindu
di istikharah cinta..

      -Istikhoroh Cinta by Sigma-


"ah.. Fathan.. Lagunya pas banget" Aku tersenyum berbisik dalam hati


***
"Hiduplah semaumu; namun sungguh engkau akan mati. Cintailah seseorang sesukamu, tapi sungguh engkau akan berpisah darinya." (nasehat Jibril kepada Nabi Muhammad)

Ku panjatkan do'a di Tempat Pemakaman Umum Baleendah ini. Cepat-cepat ku seka air mataku yang hampir jatuh. Aku hanya tak ingin terlalu larut dalam duka yang ada.
"Besok hari bahagia untukku. Semoga Allah memberikan tempat yang indah untukmu. Semoga kubur mu dilapangkan. Aku akan selalu mendo'akanmu." ujarku dalam hati.

ku pandangi dalam-dalam batu nisan di depanku.
Muhammad Fathan Abdillah.
Lahir: 18 April 1987
wafat: 22 Agustus 2012

***

Tahun lalu. Juli 2012.

"kok kamu lebih memilih Fathan sih, Nadya? Iqbal kurang soleh apa coba? Apalagi kalo kamu jadi istrinya, kamu sekeluarga bisa langsung berangkat naik haji." ujar Aisyah setengah mengintimidasi.
Aisyah adalah adik Ummu Fatimah. Usianya 2 tahun lebih muda dariku. Kadang emosinya masih belum stabil.

Ummu Fatimah hanya tersenyum heran mendengar pertanyaan aneh dari adiknya.

"Semoga aku tidak akan menyesal ya. Tapi sungguh, begini Aisyah.. Aku memiliki sebuah cita-cita. Aku ingin membangun sebuah keluarga diatas landasan keimanan yang kokoh. Aku ingin memiliki anak-anak yang akan menjadi pembela agama-Nya. Aku ingin memiliki anak-anak yang akan menjadi hafizh-hafizh AlQur'an. Aku ingin anak-anakku kelak sangat bersemangat untuk datang ke Majelis ilmu. Berlebihan kah? Ya. Tapi itulah cita-citaku. Semua berhak memiliki cita-cita. Dan, aku tak melihat itu ada pada sosok Iqbal." jawabku

Ummu Fatimah terharu.
Kemudian beliau memelukku.

"aamiin. Semoga, Fathan lah orangnya. Kamu sudah sangat dewasa, Nadya." bisiknya padaku

kemudian terdengar nada sms dari handphoneku. Ku buka perlahan.

Jazakillahu khoiir. Terimakasih, Nadya. -Fathan

bersyukurlah pada Allah. Karena Ia lah yang menunjukkan dan membukakan hatiku untukmu. Sent


aku tersenyum. bahagia.
2 bulan ke depan, di usiaku yang ke 21 Insya Allah aku menikah bersama Fathan.
September ceria.

Terimakasih Ya Allah. -batinku


***

Hari itu. 22 Agustus 2012.

"Halo Nadya..! Fathan kecelakaan...!!" suara dari sebrang sana panik. Ibunda Fathan sampai-sampai lupa mengucapkan salam.
"Innalillahi.. Kecelakaan dimana, Bu? Gimana keadaannya?" aku pun menjadi ikut panik
"kamu cepat ke Rumah Sakit Al-Islam ya. Hati-hati."

tuut tuut tuut.. Terputus.

Bergegas aku memberi tau Bunda yang sedang berjaga. Bunda memang sedang menunggu Ayahku yang sedang dirawat di Rumah Sakit. Rencananya, hari ini Fathan memang akan menengok Ayah.
Namun, Allah berkehendak lain. Ternyata Fathan mengalami kecelakaan di perjalanan.

Aku dan Binar berjalan sangat cepat menyusuri lorong rumah sakit.
Bunda memang menyuruhku menelepon Binar agar ia menemaniku melihat keadaan Fathan.
Nafasku terengah-engah.

Ya Allah, selamatkan nyawa Fathan.

Terlambat.
Aku sampai di ruang tunggu ICU, ketika nyawa Fathan sudah tak tertolong.
Malaikat Ijrail telah mencabut nyawanya.
Ia menghembuskan nafas di usianya yang ke 25 tahun.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'uun.." ucapku lirih

Lemas.
Kakiku seperti tak menapaki bumi.
Handphone yang sedari tadi ku genggam pun, terlepas.
Seperti tak ada kekuatan untuk menggenggam.
Semua suara orang-orang di sekitarku seperti mengecil dan menjauh.
Pandangan mataku kosong.

Binar cepat-cepat menahan tubuhku yang mulai ambruk. Kemudian memopohku untuk duduk di kursi.

"Fathaan....." aku menangis lirih
"istighfar, Nadya. Sabar. Dzikir sayang dzikiir." Binar menenangkan.
Aku tenggelam di pelukan Binar.

Aku berdzikir sebanyak mungkin, berusaha menenangkan diriku sendiri.

"Hanya dengan mengingat-Ku, hati akan menjadi tenang."  (Q.S Ar-Ro'd 28)

sementara Ibu Fathan terus menjerit dan berteriak. Shock.

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari Neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan." (Q.S Ali Imron: 185)


***
1 bulan setelah wafatnya Fathan...

Bulan September 2012 ini seharusnya menjadi bulan bahagia untukku. Untuk Aku dan Fathan.
Minggu-minggu awal sejak kepergian Fathan, merupakan minggu-minggu terberat dalam sejarah hidupku selama ini.
Aku merasa tidak sehat, tanpa bisa menjelaskan bagian mana yang sakit.

Aku benar-benar kehilangan sosok Fathan.
Jika saja bukan karena iman dan Islam yang ada pada diriku, mungkin aku sudah gila.


***
Agustus 2013

Hari berganti-hari. Tak terasa setahun sudah Fathan pergi meninggalkan kami. Aku semakin mempersibuk diriku dengan mengikuti kajian-kajian. Kegiatan hapalan dan bahasa Arabku berjalan dengan lancar.

"Nadya, kamu kuat ya. Aku salut!"
"kuat bagaimana maksud kamu, Binar?" aku balik bertanya. Tak mengerti ke arah mana pembicaraan yang dimaksud Binar.

Ummu Fatimah dan Aisyah tersenyum mendengarkan pembicaraan aku dan Binar.

Sekarang, Binar semakin sering mengikuti kajian menemani ku. Ia pun perlahan mulai mengenakan jilbab lebar. Allah telah menggerakkan hatinya.

"Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah, kak Binar. Iya kan, mbak? makanya kak Nadya bisa kuat gitu." tutur Aisyah kepada Ummu Fatimah.

Aku dan Ummu Fatimah membalas dengan anggukan dan senyuman.

"kamu sembuh lebih cepat dari yang aku bayangkan, Nadya. Aku gak tau gimana jadinya kalo aku ada di posisi kamu." ujar Binar

"ini tentang apa? Tentang alm. Fathan ya?"

"afwan jika aku kembali mengingatkanmu tentangnya." Binar merasa nggak enak

"Rasa kehilangan hanya akan ada, jika kita pernah merasa 'memiliki'nya. Padahal, kita tidak pernah memiliki apapun di dunia ini. Semua hanya titipan. Milik Allah. Harta kita, Jiwa kita, Raga kita, keluarga kita, semuanya." Aku mulai menjelaskan apa yang selama ini ada di pikiranku dan bisa membuatku kuat. Setidaknya terlihat kuat.

"...."

"Kalau kita masih menangis meraung-raung saat tiba-tiba Allah mengambil tangan kita, itu artinya kita terlalu 'dalam'  memiliki apa yang bukan milik kita. Kalau kita masih kecewa ketika orang lain tak membalas rasa sayang kita, itu artinya kita terlalu 'dalam' memiliki apa yang bukan milik kita. Dan begitupun jika kita marah serta kecewa saat teman kita pergi, itu juga menandakan kita sombong karena terlalu 'dalam' memiliki apa yang bukan milik kita." lanjutku perlahan. Aku tak ingin terkesan menggurui mereka.

"..."

"Secinta-cinta apapun kita terhadap sesuatu , pemiliknya yg sejati hanyalah Allah. Dan Dia lebih mencintai kita. Lebih mencintai Fathan. Lebih berhak atas diri kita." tambahku lagi

"itu betul banget, tapi pengamalannya susah yaa." Aisyah mengomentari

"Nah iya, sekarang aku lagi belajar ilmu ikhlas. Jangan terlalu larut dalam kesedihan. Walaupun susah. Tapi, Semangat! Pilihan Allah tak selalu seindah ingin kita, tapi itu pilihan-Nya. Tak ada yang lebih baik dari pilihan Allah." seru ku.

Ummu Fatimah tersenyum mendengar pembicaraan antara aku, Binar dan Aisyah.
Kemudian beliau menutup pembicaraan dengan kalimat..

"jika kita kehilangan sesuatu yg kita cintai dan kita ikhlas karena Allah, maka Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Insyaa Allah. Ikhlas, Berdo'a dan Bersabarlah."

Binar tersenyum puas.
kami pun memutuskan pulang ke rumah masing-masing.


***

November 2013..

Beberapa hari yang lalu, Ummu Fatimah kembali menawarkan ikhwan untuk ta'aruf lagi padaku.
Rasanya bukan tidak berselera atau trauma, hanya saja aku merasa belum siap untuk memulai dan membuka hati lagi.
Tapi tak sampai di situ, Ummu Fatimah terus-terusan menyemangatiku. Ia mengatakan kalau aku harus segera bangkit, sebenar-benarnya bangkit. (wkwkwk)
Ia menyemangatiku agar aku tak terlalu lama dalam kesendirian dalam mencari ilmu.

Dan akhirnya aku memutuskan untuk mengiyakan tawaran ta'aruf dari Ummu Fatimah.

"kamu pernah bilang kalau kamu menginginkan keluarga dengan landasan Islam yang kokoh, serta anak yang mencintai Al-Quran dan menjadikannya sebagai hafizh kan, Nadya.." ujar Ummu Fatimah

"iya, Insyaa Allah."

"Baiklah. Semoga ikhwan ini sesuai dengan kriteria dirimu ya, Nadya." Ummu Fatimah menyodorkan map berisi CV seorang ikhwan

Ku buka perlahan CV yang sedari tadi ku pegang sambil mengucap basmallah.

NAMA : YUSUF FIRDAUS
TTL    : Surabaya, 11 Februari 1982
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Memiliki 3 orang anak dan 1 istri

aku terkejut.
spontan ku alihkan pandangan mataku ke arah Ummu Fatimah.
Wajah dan tatapan mataku seolah bertanya 'kenapa? Kenapa bisa? Apa alasannya? Kenapa Pak Yusuf?" pada Ummu Fatimah.

Ummu Fatimah seakan mengerti arti dari wajahku yang dipenuhi dengan pertanyaan dan meminta kejelasan.

Kemudian ia berucap, "karena kita tidak boleh terlalu 'dalam' mencintai dan memiliki apa yang bukan milik kita.Termasuk suami ana sekalipun."


Aku menangis dalam sujudku.

Ya Allah, Engkau tak memberi apa yang aku inginkan. Tapi, memberi apa yang aku butuhkan. Penguat.


*tamat*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar