Sabtu, 19 Oktober 2013

Cinta Penawar Luka




Setelah mendaki, lelaki itu masuk terlebih dahulu, menyibak ruang cekung diantara batu. Rikat matanya memeriksa tiap sudut, dan, ah ya. Setidaknya ada empat lubang, sarang makhluk berbisa di gua itu. “Tunggulah sejenak, Ya Rasulullah,” ujarnya. Dipinggirkannya semua kerikil dan batu. Disapunya lantai dengan surban hingga pasirnya rata dan lembut.
Lalu dia pun duduk. Ditempatkannya selonjoran kaki dan tapak-tapak tangannya pada lubang-lubang yang diperkirakan dihuni binatang berbisa. Anggota tubuhnya dikerahkan untuk menutup bahaya sengatan dari liang-liang itu. Lalu Rasulullah pun masuk, merebahkan diri untuk beristirahat di pangkuan lelaki itu.
Lelaki itu, Abu Bakar Ash-Shidiq yang kurus badannya, mendampingi Muhammad Shalallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hijrahnya. Kali ini, mereka sedangm berada di Gua Tsur untuk menghindarkan diri dari kejaran Quraisy yang murka berat atas lolosnya Muhammad. Dan inilah mereka disini, menghindar dari jalur perjalanan beberapa jenak untuk mengecoh para pemburu nyawa Sang Nabi.
Belum beberapa lama mereka di situ, Abu Bakar telah mulai merasa sengatan-sengatan binatang berbisa mencekatnya. Rasa ngilu, pedih, dan nyeri yang tak tertahankan menjalar seakan hendak merusakkan syaraf dan melumpuhkan badannya. Tapi dia tetap diam dan menggigit bibir. Ditahannya rasa sakit itu demi agar Sang Nabi tak terganggu istirahatnya. Beliau Shalallallaahu ‘Alaihi wa Sallam pulas sekali.
Beberapa lelaki Quraisy tampaknya mengetahui persembunyian mereka dan memeriksa pintu gua. Abu Bakar mulai gelisah dan disergap cemas. Tepat saat itu, sebulir air mata tak mampu lagi ditahannya hingga jatuh menitik berketipak di pipi Sang Nabi, Beliau bangun.
“Jangan sedih, hai Abu Bakar,” ujar beliau menatap sahabatnya dengan teduh, “Allah bersama kita.”
“Orang-orang itu, Ya Rasulullah,” ucap Abu Bakar seakan lupa pada sakitnya, “Andai mereka melihat kea rah kaki mereka sendiri, pastilah mereka akan mengetahui keberadaan kita.”
“Bagaimana pendapatmu, hai Abu Bakar.” Lanjut Rasulullah samba tersenyum, “Jika ada dua orang dan yang ketiganya adalah Allah?”
Kalimat Rasulullah dan senyum beliau, ketenangan dan keteduhan wajahnya tiba-tiba membuat Abu Bakar serasa diguyur embun sejuk ketentraman. Segala rasa sakit akibat sengatan bintang-binatang jahat itu tak lagi terasa. Dunia serasa dipenuhi cahaya yang berpendar-pendar, hangat dan penuh cinta. Sebab mereka berdua telah menyatu dengan Allah sebagai saksinya, sebagai yang ketiganya, dalam dekapan ukhuwah.
Inilah cinta penawar luka.


Sumber : Dalam Dekapan Ukhuwah Halaman 382
Bye Ust. Salim A. Fillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar