Setelah mendaki, lelaki itu masuk terlebih dahulu, menyibak
ruang cekung diantara batu. Rikat matanya memeriksa tiap sudut, dan, ah ya.
Setidaknya ada empat lubang, sarang makhluk berbisa di gua itu. “Tunggulah
sejenak, Ya Rasulullah,” ujarnya. Dipinggirkannya semua kerikil dan batu.
Disapunya lantai dengan surban hingga pasirnya rata dan lembut.
Lalu dia pun duduk. Ditempatkannya selonjoran kaki dan
tapak-tapak tangannya pada lubang-lubang yang diperkirakan dihuni binatang
berbisa. Anggota tubuhnya dikerahkan untuk menutup bahaya sengatan dari
liang-liang itu. Lalu Rasulullah pun masuk, merebahkan diri untuk beristirahat
di pangkuan lelaki itu.
Lelaki itu, Abu Bakar Ash-Shidiq yang kurus badannya,
mendampingi Muhammad Shalallallaahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hijrahnya.
Kali ini, mereka sedangm berada di Gua Tsur untuk menghindarkan diri dari
kejaran Quraisy yang murka berat atas lolosnya Muhammad. Dan inilah mereka
disini, menghindar dari jalur perjalanan beberapa jenak untuk mengecoh para
pemburu nyawa Sang Nabi.
Belum beberapa lama mereka di situ, Abu Bakar telah mulai
merasa sengatan-sengatan binatang berbisa mencekatnya. Rasa ngilu, pedih, dan
nyeri yang tak tertahankan menjalar seakan hendak merusakkan syaraf dan
melumpuhkan badannya. Tapi dia tetap diam dan menggigit bibir. Ditahannya rasa
sakit itu demi agar Sang Nabi tak terganggu istirahatnya. Beliau Shalallallaahu
‘Alaihi wa Sallam pulas sekali.
Beberapa lelaki Quraisy tampaknya mengetahui persembunyian
mereka dan memeriksa pintu gua. Abu Bakar mulai gelisah dan disergap cemas.
Tepat saat itu, sebulir air mata tak mampu lagi ditahannya hingga jatuh menitik
berketipak di pipi Sang Nabi, Beliau bangun.
“Jangan sedih, hai Abu Bakar,” ujar beliau menatap sahabatnya
dengan teduh, “Allah bersama kita.”
“Orang-orang itu, Ya Rasulullah,” ucap Abu Bakar seakan lupa
pada sakitnya, “Andai mereka melihat kea rah kaki mereka sendiri, pastilah
mereka akan mengetahui keberadaan kita.”
“Bagaimana pendapatmu, hai Abu Bakar.” Lanjut Rasulullah
samba tersenyum, “Jika ada dua orang dan yang ketiganya adalah Allah?”
Kalimat Rasulullah dan senyum beliau, ketenangan dan
keteduhan wajahnya tiba-tiba membuat Abu Bakar serasa diguyur embun sejuk
ketentraman. Segala rasa sakit akibat sengatan bintang-binatang jahat itu tak
lagi terasa. Dunia serasa dipenuhi cahaya yang berpendar-pendar, hangat dan
penuh cinta. Sebab mereka berdua telah menyatu dengan Allah sebagai saksinya,
sebagai yang ketiganya, dalam dekapan ukhuwah.
Inilah cinta penawar luka.
Sumber : Dalam
Dekapan Ukhuwah Halaman 382
Bye Ust.
Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar