Bagaimana rasanya menjadi orang yang paling bisa mengerti
sahabat tercinta?
Tentu indah. Kita menjadi yang pertama-tama menangkap kilasan
cahaya gembiranya, lalu menjadikan hati kita lensa konkaf untuk menebarkannya.
Atau kita juga segera menangkap tebaran masalah yang menggayuti benaknya, lalu
menjadi lensa konveks untuk memberinya fokus dan orientasi. Dan di sebalik
lensa itu, kita juga yang pertama-tama akan menangkap bayangan nyata dari
kesemu-semuan tentangnya. Seringkali, ia membuat kita menangis terlebih dahulu.
Bahkan menangis sendirian. Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah merasakannya.
Ketika itu, Sang Nabi menerima wahyu. Wahyu yang sangat
menggembirakan semua sahabat. Beliau membacakannya dari atas mimbar. “Apabila
datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk ke
dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji
Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Ia adalah Maha Penerima
Taubat.”
Semua sahabat tersenyum, lega, bahagia, dan penuh syukur.
Tapi dari depan mimbar, Abu Bakar tiba-tiba berteriak dengan gemuruh isak, “Ya
Rasulullah, ku tebus engkau dengah ayah dan ibuku! Demi Allah ku tebus engkau
dengah ayah dan ibuku!” Dan ia terus menangis. Para sahabat belum pernah heran
akan Abu Bakar sedahsyat itu. Mereka menatap tajam ke arahnya dengan mulut yang
tanpa disadari setengah terbuka. Tapi Rasulullah tersenyum padanya.
“Seorang hamba diminta untuk memilih,” beliau Shalallallaahu
‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabda, “Antara perhiasan dunia menurut
kehendaknya, atau apa yang ada di sisi Allah.” Tangis Abu Bakar semakin keras,
terdengar menggigil bagai burung dalam badai, menyesakkan. “Demi Allah Ya
Rasullah, ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu!” ia kembali berteriak. Hingga kata
perawi hadist ini, orang-orang bergumam dalam hati, “Lihatlah orang tua ini!
Rasulullah mengabarkan tentang kemenangan dan seorang hamba yang diberi
pilihan, tapi ia berteriak-teriak tak karuan!”
Entah mengapa, hari itu kebeningan hanya menjadi milik Abu
Bakar seorang. Ketika para sahabat bergembira mendengar sabda-sabda Nabi, ia
menangkap surat An-Nashr dan segala yang beliau katakan sebagai satu isyarat
pasti. Ajal Sang Nabi telah sangat dekat! Maka ia menangis. Maka ia berteriak.
Hanya dia. Hanya dia yang mengerti.
Rasulullah masih tersenyum. “Sesungguhnya orang yang paling
banyak membela dan melindungiku dengan pergaulan dan hartanya adalah Abu
Bakar,” kata beliau. “Andaikan aku boleh mengambil kekasi selain Rabbku,
niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai Khaliil-ku. Tetapi ini
adalah persaudaraan Islam dan kasih sayang. Semua pintu yang menuju ke mesjid
harus ditutup, kecuali pintu Abu Bakar.”
***
Abu Bakar adalah orang dengan nurani yang begitu jernih,
begitu suci. Dia yang paling berduka, menangis, dan histeris ketika Sang Nabi
memberi isyarat tentang dekatnya saat berpisah. Namun, di saat kekasih yang
dicintainya itu benar-benar pergi, Abu Bakar menjadi orang yang paling waras,
paling tenang, dan paling menentramkan. Dalam dekapan ukhuwah, cintanya jadi
penawar luka.
“Tiada hari yang lebih bercahaya di Madinah,” kata Anas ibn
Malik, “Daripada hari ketika Rasulullah Shalallallaahu ‘Alaihi wa Sallam datang
kepada kami. Dan tidak ada hari yang lebih gelap dan muram daripada saat beliau
wafat.” Hari itu isak dan sedu menyatu. Tangis dan ratap berbaur. Air mata
bergabung dengan keringat dan cairan hidung. Dan seseorang lelaki
berteriak-teriak, membuat suasana makin kalut.
“Sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah
meninggal dunia!” kata sosok tinggi besar itu. Banyak orang berhimpun di
sekelilingnya hingga yang di belakang harus berjinjit untuk mengenali bahwa si
gaduh itu adalah ‘Umar ibn Al-Khattab. “Sesungguhnya beliau tidak wafat!” ia
terus berteriak dengan mata merah berkaca-kaca dan berjalan hilir mudik ke sana
ke sini.
“Sesungguhnya beliau tidak mati! Beliau hanya pergi menemui
Rabb-nya seperti Musa yang pergi dari kaumnya selama 40 hari, lalu kembali lagi
pada mereka setelah dikira mati! Demi Allah, Rasulullah Shalallallaahu
‘Alaihi wa Sallam pasti akan kembali! Maka tangan dan kaki siapapun yang
mengatakan beliau telah meninggal harus dipotong!”
‘Umar masih terus berteriak-teriak bahkan menghunus pedang
ketika Abu Bakar datang dan masuk ke bilik ‘Aisyah, tempat dimana jasad Sang
Nabi terbaring. Disibaknya kain berwarna hitam yang menyelubungi tubuh suci
itu, dipeluknya Sang Nabi dengan tangis. “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu..”,
bisiknya. “Allah tidak akan menghimpun dua kematian bagimu. Kalau ini sudah
ditetapkan, engkau memang telah meninggal.” Abu Bakar mencium kening Sang Nabi.
“Alangkah wanginya engkau di kala hidup, alangkah wangi pula engkau di saat
wafat.”
‘Umar masih mengayun-ayunkan pedang ketika dia keluar.
“….Kaki dan tangannya harus dipotong! Dipotong!” teriak ‘Umar
“Duduklah, hai ‘Umar!” seru Abu Bakar. Tapi ‘Umar yang bagai
kesurupan tak juga duduk. Orang-orang, dengan kesadaran penuh mulai mendekati
Abu Bakar dan meninggalkan ‘Umar. “Barangsiapa menyembah Muhammad, maka sungguh
Muhammad telah wafat,” katanya berwibawa, “Tapi barangsiapa menyembah Allah,
sesungguhnya Allah hidup kekal.” Abu Bakar lalu membaca ayat yang dibaca
Mush’ab ibn ‘Umar menjelang syahidnya, saat tubuhnya yang menghela panji Uhud
dibelah-belah dan tersiar kabar bahwa Rasulullah terbunuh.
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh
telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia mati atau
terbunuh kalian akan berbalik ke belakang? Dan barang siapa yang berbalik ke
belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun.
Dan Allah akan member balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Q.S Ali imran:144)
‘Umar jatuh terduduk mendengar ayat ini. Pedangnya lepas
berdentang dari genggaman. Dengan gumaman diselingi isak, disimak dan dilafalkannya
ayat yang dibaca Abu Bakar. Demikian juga yang lain. Mereka semua membaca ayat
itu. Seolah-olah ayat itu baru saja
turun. Seolah-olah mereka tak pernah mendengar ayat itu sebelum Abu Bakar
membacakannya. Entah mengapa, sekali lagi, kebeningan hanya milik Abu Bakar
seorang pada hari itu.
Maka inilah Abu Bakar: Seorang yang mata batinnya begitu
jernih. Dia yang paling berduka, menangis dan histeris ketika Sang Nabi member
isyarat tentang dekatnya saat berpisah. Namun, di saat kekasih yang dicintainya
itu benar-benar pergi Abu Bakar menjadi orang yang paling waras, paling tenang,
dan paling menentramkan. Dalam dekapan ukhuwah, Abu Bakar adalah lelaki yang
memberikan cintanya sebagai penawar bagi luka umatNya.
Sumber : Dalam
Dekapan Ukhuwah Halaman 384
Bye Ust.
Salim A. Fillah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar