Senin, 28 Oktober 2013

Akankah?

Siapapun  #kamu, semoga kita dipertemukan di jalanNya, dengan petunjukNya dan di bawah ridhoNya.

Siapapun #kamu, semoga pertemuan kita nanti semakin membuat keimanan dan ketaatan kita padaNya bertambah

Siapapun #kamu, semoga bukan karena 'apa' kita jatuh cinta. Tapi karena 'siapa' kita bisa saling mencintai.

Siapapun #kamu, sungguh aku malu jika kita bertemu namun aku belum siap dan pantas untukmu. Maka bersabarlah..

Hai calon pangeran surgaku, semoga saat ini kamu sedang berusaha menjemputku dengan usaha dan doa terbaik.

Tidakkah ini menyenangkan, menunggu janjiNya yang tak pernah ingkar, dalam keikhlasan dan ketaatan?

Tidakkah ini mendebarkan, menuggu waktu pilihanNya sembari mengisi hari hari sambil terus memantaskan diri?

Tidakkah ini mengharukan, menunggu keputusan terbaikNya dengan menjaga diri dam hati dari semua yang belum pasti?

Mungkin sekarang kakimu melangkah ke tempat lain, kakiku menuju tempat yang lain, tapi nanti hati kita dan langkah kita akan beriringan bersama.

#luluiii

Enggan

Semua tentang kamu begitu mudah dan mengalir untuk menjadi puisi serta untaian kata lepas.
Mengalir mengalir mengalir dan mengalir
Seperti tak ada jeda dalam otakku.
Tak ada rem.
Mengalir mengalir mengalir dan mengalir.

Saatku terhuyung karenamu, jari ini menari tanpa henti.
Saat ku terjatuh karenamu, jari-jari ini masih menari tanpa henti.
Dan begitupun jua saat ini.
Detik dimana aku enggan mengingatmu, jari jari ini masih jua menari tanpa henti.
Aku enggan mengingatmu.
Kamu? Candu?

Banjaran,27 oktober 2013

Sabtu, 19 Oktober 2013

ish.. konyol..




Seperti yang sudah saya ceritakan dan kemukakan di postingan blog taun lalu, kalau saya itu teramat gengsian. Untuk mengakui “kangen juga” pada seseorang pun, teramat berat. Malu.

Dan kali ini.
Saya kejebak. Haha

Okesaya akui, saya pernah cemburu.
Bahkan sebelum dia mengakui rasa cemburunya, saya sudah merasakan duluan.
Haha. Hebat ya gak ketauan? (pertahankan! :P )

Ketika saya cemburu,
Saya memilih diam.
Memilih menghindar.
Kemudian pulang ke rumah tanpa menjelaskan apapun pada siapapun.
(hahaha sumpah ini ngetik sambil seuseurian ngebayangin saat-saat “hareudang” itu. Wkwkwkwk itu sangat konyol)

Tapi kemudian segera tersadar.
Hatimu bukan tertuju padaku.

Banjaran, 18 Oktober 2013



Tiba-tiba




Rasa itu muncul lagi
Sempat terkubur karena orang lain
Dan berlalu pula karena orang lain
Ternyata, sementara.

Ku pikir ia terkubur
Ternyata tak sempurna

Rasa itu muncul lagi
Bukan padanya
Tapi padamu.
Masih sama
Seperti kemarin.

Ya..
Pada ranting yang terus bercabang.
Ku pangkas.
Ku hancurkan.
Tapi akarnya masih sempurna.

Ternyata,
Daunnya berguguran.
Rantingnya patah,
Tapi akarnya tetap kokoh
Dan menancap dengan kuat.
(Beuuuuh)

Aku merindukanmu
Tiba-tiba.


Banjaran, 11 Oktober 2013



Lagi Lagi Jatuh



Jatuh hati? 
Jatuh cinta?
Penasaran?

Selalu demikian.

Bukan Jatuh cintanya yang membuat sakit
Tapi jatuh ketika tak ditangkap, itu yang menyakitkan.
Kenapa belagak menadahkan tangan, kalo gak mau menangkap?
Kenapa sengaja mengulurkan tangan agar saya meloncat untuk kemudian terjatuh, kalo pada akhirnya gak kamu tangkap dan gak ditahan dengan kuat?

Cukup.
Bahagia itu pilihan.
Kalaupun takdirnya, saya bukan dengan kamu.
Maka pilihan saya selanjutnya adalah: saya harus bahagia.
Terimakasih
Saya sama sekali tidak menyesal.



Banjaran, Oktober 2013

Tanyaku..





Hatimu seperti ranting
Bercabang,
Bercabang,
dan terus bercabang


Dan dari sekian banyak cabang itu,
Tak juga ku dapati jawaban:
Adakah cabang yang mengarah kepadaku?



Banjaran, Juli 2013






Cinta Penawar Luka #2



Bagaimana rasanya menjadi orang yang paling bisa mengerti sahabat tercinta?
Tentu indah. Kita menjadi yang pertama-tama menangkap kilasan cahaya gembiranya, lalu menjadikan hati kita lensa konkaf untuk menebarkannya. Atau kita juga segera menangkap tebaran masalah yang menggayuti benaknya, lalu menjadi lensa konveks untuk memberinya fokus dan orientasi. Dan di sebalik lensa itu, kita juga yang pertama-tama akan menangkap bayangan nyata dari kesemu-semuan tentangnya. Seringkali, ia membuat kita menangis terlebih dahulu. Bahkan menangis sendirian. Abu Bakar Ash-Shiddiq pernah merasakannya.
Ketika itu, Sang Nabi menerima wahyu. Wahyu yang sangat menggembirakan semua sahabat. Beliau membacakannya dari atas mimbar. “Apabila datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan engkau melihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepadaNya. Sesungguhnya Ia adalah Maha Penerima Taubat.”
Semua sahabat tersenyum, lega, bahagia, dan penuh syukur. Tapi dari depan mimbar, Abu Bakar tiba-tiba berteriak dengan gemuruh isak, “Ya Rasulullah, ku tebus engkau dengah ayah dan ibuku! Demi Allah ku tebus engkau dengah ayah dan ibuku!” Dan ia terus menangis. Para sahabat belum pernah heran akan Abu Bakar sedahsyat itu. Mereka menatap tajam ke arahnya dengan mulut yang tanpa disadari setengah terbuka. Tapi Rasulullah tersenyum padanya.
“Seorang hamba diminta untuk memilih,” beliau Shalallallaahu ‘Alaihi wa Sallam melanjutkan sabda, “Antara perhiasan dunia menurut kehendaknya, atau apa yang ada di sisi Allah.” Tangis Abu Bakar semakin keras, terdengar menggigil bagai burung dalam badai, menyesakkan. “Demi Allah Ya Rasullah, ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu!” ia kembali berteriak. Hingga kata perawi hadist ini, orang-orang bergumam dalam hati, “Lihatlah orang tua ini! Rasulullah mengabarkan tentang kemenangan dan seorang hamba yang diberi pilihan, tapi ia berteriak-teriak tak karuan!”
Entah mengapa, hari itu kebeningan hanya menjadi milik Abu Bakar seorang. Ketika para sahabat bergembira mendengar sabda-sabda Nabi, ia menangkap surat An-Nashr dan segala yang beliau katakan sebagai satu isyarat pasti. Ajal Sang Nabi telah sangat dekat! Maka ia menangis. Maka ia berteriak. Hanya  dia. Hanya dia yang mengerti.
Rasulullah masih tersenyum. “Sesungguhnya orang yang paling banyak membela dan melindungiku dengan pergaulan dan hartanya adalah Abu Bakar,” kata beliau. “Andaikan aku boleh mengambil kekasi selain Rabbku, niscaya aku akan mengambil Abu Bakar sebagai Khaliil-ku. Tetapi ini adalah persaudaraan Islam dan kasih sayang. Semua pintu yang menuju ke mesjid harus ditutup, kecuali pintu Abu Bakar.”
***
Abu Bakar adalah orang dengan nurani yang begitu jernih, begitu suci. Dia yang paling berduka, menangis, dan histeris ketika Sang Nabi memberi isyarat tentang dekatnya saat berpisah. Namun, di saat kekasih yang dicintainya itu benar-benar pergi, Abu Bakar menjadi orang yang paling waras, paling tenang, dan paling menentramkan. Dalam dekapan ukhuwah, cintanya jadi penawar luka.
“Tiada hari yang lebih bercahaya di Madinah,” kata Anas ibn Malik, “Daripada hari ketika Rasulullah Shalallallaahu ‘Alaihi wa Sallam datang kepada kami. Dan tidak ada hari yang lebih gelap dan muram daripada saat beliau wafat.” Hari itu isak dan sedu menyatu. Tangis dan ratap berbaur. Air mata bergabung dengan keringat dan cairan hidung. Dan seseorang lelaki berteriak-teriak, membuat suasana makin kalut.
“Sesungguhnya beberapa orang munafik beranggapan bahwa Rasulullah meninggal dunia!” kata sosok tinggi besar itu. Banyak orang berhimpun di sekelilingnya hingga yang di belakang harus berjinjit untuk mengenali bahwa si gaduh itu adalah ‘Umar ibn Al-Khattab. “Sesungguhnya beliau tidak wafat!” ia terus berteriak dengan mata merah berkaca-kaca dan berjalan hilir mudik ke sana ke sini.
“Sesungguhnya beliau tidak mati! Beliau hanya pergi menemui Rabb-nya seperti Musa yang pergi dari kaumnya selama 40 hari, lalu kembali lagi pada mereka setelah dikira mati! Demi Allah, Rasulullah Shalallallaahu ‘Alaihi wa Sallam pasti akan kembali! Maka tangan dan kaki siapapun yang mengatakan beliau telah meninggal harus dipotong!”
‘Umar masih terus berteriak-teriak bahkan menghunus pedang ketika Abu Bakar datang dan masuk ke bilik ‘Aisyah, tempat dimana jasad Sang Nabi terbaring. Disibaknya kain berwarna hitam yang menyelubungi tubuh suci itu, dipeluknya Sang Nabi dengan tangis. “Ayah dan ibuku sebagai tebusanmu..”, bisiknya. “Allah tidak akan menghimpun dua kematian bagimu. Kalau ini sudah ditetapkan, engkau memang telah meninggal.” Abu Bakar mencium kening Sang Nabi. “Alangkah wanginya engkau di kala hidup, alangkah wangi pula engkau di saat wafat.”
‘Umar masih mengayun-ayunkan pedang ketika dia keluar. “….Kaki dan tangannya harus dipotong! Dipotong!” teriak ‘Umar
“Duduklah, hai ‘Umar!” seru Abu Bakar. Tapi ‘Umar yang bagai kesurupan tak juga duduk. Orang-orang, dengan kesadaran penuh mulai mendekati Abu Bakar dan meninggalkan ‘Umar. “Barangsiapa menyembah Muhammad, maka sungguh Muhammad telah wafat,” katanya berwibawa, “Tapi barangsiapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah hidup kekal.” Abu Bakar lalu membaca ayat yang dibaca Mush’ab ibn ‘Umar menjelang syahidnya, saat tubuhnya yang menghela panji Uhud dibelah-belah dan tersiar kabar bahwa Rasulullah terbunuh.
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang? Dan barang siapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan madharat kepada Allah sedikit pun. Dan Allah akan member balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Q.S Ali imran:144)
‘Umar jatuh terduduk mendengar ayat ini. Pedangnya lepas berdentang dari genggaman. Dengan gumaman diselingi isak, disimak dan dilafalkannya ayat yang dibaca Abu Bakar. Demikian juga yang lain. Mereka semua membaca ayat itu. Seolah-olah  ayat itu baru saja turun. Seolah-olah mereka tak pernah mendengar ayat itu sebelum Abu Bakar membacakannya. Entah mengapa, sekali lagi, kebeningan hanya milik Abu Bakar seorang pada hari itu.
Maka inilah Abu Bakar: Seorang yang mata batinnya begitu jernih. Dia yang paling berduka, menangis dan histeris ketika Sang Nabi member isyarat tentang dekatnya saat berpisah. Namun, di saat kekasih yang dicintainya itu benar-benar pergi Abu Bakar menjadi orang yang paling waras, paling tenang, dan paling menentramkan. Dalam dekapan ukhuwah, Abu Bakar adalah lelaki yang memberikan cintanya sebagai penawar bagi luka umatNya.


Sumber : Dalam Dekapan Ukhuwah Halaman 384
Bye Ust. Salim A. Fillah